Tafsir Ibnu Katsir

Tafsir Ibnu Katsir

test

Breaking

Tuesday 10 April 2018

Takwil kalimat Allah

April 10, 2018 0
Takwil kalimat Allah


Takwil Kalimat “Allah”

[القول في تأويل اللَّهِ]
Allah adalah 'alam (nama) yang ditujukan kepada Tuhan Yang Mahaagung lagi Maha Tinggi. Menurut suatu pendapat, Allah adalah Ismul A'zam karena Dia memiliki semua sifat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ عالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهادَةِ هُوَ الرَّحْمنُ الرَّحِيمُ. هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ. هُوَ اللَّهُ الْخالِقُ الْبارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Maha Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang menciptakan, Yang Mengadakan, Yang membentuk Rupa, Yang mempunyai nama-nama Yang Paling Baik. Bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Al-Hasyr: 22-24)
Semua asma lainnya dianggap sebagai sifat-Nya, seperti yang dise-butkan di dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها
Allah mempunyai asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu. (Al-A'raf: 18)
Allah Swt. berfirman:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى
Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kalian seru, Dia mempunyai asma-ul husna (Al-Isra: 110)
Di   dalam  kitab  Sahihain  disebutkan  dari  Abu  Hurairah  bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ»
Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu; barang siapa menghitungnya (menghafalnya), niscaya masuk surga.
Hal seperti itu disebutkan pula di dalam riwayat Imam Turmuzi dan Ibnu Majah, hanya di antara kedua riwayat terdapat perbedaan mengenai tambahan dan pengurangan lafaz.
Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan dari sebagian mereka bahwa Allah mempunyai lima ribu isim (nama); seribu nama terdapat di dalam Al-Qur'an dan sunnah yang sahih, seribu terdapat di dalam kitab Taurat, seribu di dalam kitab Injil, seribu di dalam kitab Zabur. dan yang seribu lagi di dalam Lauh Mahfuz.
Allah adalah isim yang tidak dimiliki oleh selain Allah sendiri Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi. Karena itu, maka dalam bahasa Arab tidak terdapat isytiqaq (bentuk asal) dari fi'il-nya. Segolongan kalangan ahli nahwu ada yang berpendapat bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tidak mempunyai isytiqaq. Pendapat ini dinukil oleh Al-Qurtubi dari sejumlah ulama, antara lain Imam Syafii, Al-Khattabi, Imamul Haramain, Imam Gazali, dan lain-lainnya.
Diriwayatkan dari Imam Khalil dan Imam Sibawaih bahwa huruf alif dan lam yang ada padanya merupakan lazimah. Imam Khattabi mengatakan, "Tidakkah kamu melihat bahwa kamu katakan, 'Ya Allah', tetapi kamu tidak dapat mengatakan, 'Ya Ar-Rahman.' Seandainya huruf alif dan lam ini bukan berasal dari lafaz itu sendiri, niscaya tidak boleh memasukkan huruf nida pada alif dan lam." Menurut pendapat yang lain, lafaz "Allah" mempunyai akar kata sendiri, dan mereka berpendapat demikian berpegang kepada ucapan seorang penyair, Ru'bah ibnul Ajjaj, yaitu:
لِلَّهِ دَرُّ الْغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ ... سَبَّحْنَ وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَأَلُّهِي
Hanya milik Allah-lah semua kebaikan yang dilahirkan oleh budak-budak perempuan penyanyi yang bersuara merdu itu, mereka bertasbih dan ber-istirja' karena menganggapkn sebagai dewa (penolong).
Penyair menjelaskan bentuk masdar-nya yaitu ta'alluh (التَّأَلُّهُ), berasal dari fi’l aliha ya-lahu ilahah dan ta-alluhan (أَلِهَ يَأْلَهُ إِلَاهَةً وَتَأَلُّهًا). Sebagaimana pula yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dia membaca firman-Nya dalam surat Al-A'raf ayat 127 dengan bacaan seperti berikut: Wayazaraka wailahataka (ويذرك وآلهتكyang artinya menurut dia ialah "Dan meninggalkanmu serta tidak menganggapmu sebagai tuhan lagi". Dikatakan demikian karena Fir'aun disembah, sedangkan dia sendiri tidak menyembah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid dan yang lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa lafaz "Allah" mempunyai isytiqaq, berdalilkan firman-Nya:
وَهُوَ اللَّهُ فِي السَّماواتِ وَفِي الْأَرْضِ
Dan Dialah Allah (Yang disembah), baik di langit maupun di bumi. (Al-An'am: 3)
Sebagaimana pula yang terdapat di dalam firman-Nya yang lain, yaitu:
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّماءِ إِلهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلهٌ
Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi. (Az-Zukhruf: 84)
Imam Sibawaih menukil dari Imam Khalil bahwa asal lafaz "Allah" adalah illahun (إِلَاهٌ)berwazan fi'alun (فِعَالٍ), kemudian dimasukkan alif dan lam sebagai ganti hamzah hingga jadilah Allah. Imam Sibawaih mengatakan, perihalnya semisal dengan lafaz nasun (النَّاسِ), bentuk asalnya adalah unasun (أناس).
Menurut pendapat yang lain, asal lafaz "Allah" ialah lahun (لَاهَ) . kemudian masuklah alif dan lam untuk mengagungkan, hingga jadilah "Allah"; pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Sibawaih.
Seorang penyair mengatakan:
لَاهِ ابْنِ عَمِّكَ لَا أَفْضَلْتَ فِي حَسَبٍ ...عَنِّي وَلَا أَنْتَ دَيَّانِي فَتَخْزُونِي
Anak pamanmu merasa tinggi diri, padahal kamu tidak mempunyai keutamaan melebihiku dalam hal kehinaan, dan tidak pula kamu berhak mengadakan pembalasan kepadaku hingga kamu dapat menghinaku dengan seenaknya.
Menurut Al-Qurtubi, fatukhzuni memakai huruf kha artinya "menggodaku dengan seenaknya".
Al-Kisai dan Al-Farra mengatakan bahwa bentuk asalnya adalah ilahun. kemudian mereka membuang hamzah dan memasukkan alif lam, lalu mereka meng-idgam (memasuk)kan lam pertama kepada lam kedua hingga jadilah Allah, seperti yang terdapat di dalam bacaan Al-Hasan terhadap firman-Nya, "lakinna huwallahu rabbi," bentuk asalnya ialah lakin ana, yakni "tetapi Aku".
Al-Qurtubi mengatakan. selanjutnya dikatakan bahwa lafaz "Allah" berasal dari walaha yang artinya "bingung", karena al-walah artinya "hilangnya akal". Dikatakan rajulun walihun dan imra-atun walha atau mauluhah artinya "bilamana dia dikirim ke padang pasir". Allah Swt. membingungkan mereka dalam memikirkan hakikat sifat-Nya. Berdasarkan pengertian ini berarti bentuk asalnya adalah wilahun, kemudian huruf wawu diganti dengan hamzah, sebagaimana dikatakan oleh mereka wisyahun menjadi isyahun, dan wisadah menjadi isadah.
Ar-Razi mengatakan, bentuk asalnya adalah alihtu ilafidan yang artinya "aku tinggal di tempat si Fulan" Dengan kata lain, akal manusia tidak akan tenang kecuali dengan berzikir mengingat-Nya. Roh tidak akan gembira kecuali dengan makrifat kepada-Nya, karena Dia-lah Yang Mahasempurna secara mutlak, bukan yang lain-Nya, Allah Swt. telah berfirman;
أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. Orang-orang yang beriman.... (Ar-Ra'd: 28)
Ar-Razi mengatakan. menurut pendapat yang lain berasal dari laha yaiuhu yang artinya "bila terhalang". Menurut pendapat lainnya lagi berasal dari alihal fasilu, artinya "anak unta itu merindukan induk-nya"". Makna yang dimaksud ialah bahwa semua hamba rindu dan gandrung kepada-N'ya dengan ber-tadarru' (merendahkan diri) kepada-Nya dalam setiap keadaan. Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" berasal dari alihar rajula ya-lahu; dikatakan demikian bila dia merasa terkejut terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, kemudian dilindungi. Yang melindungi semua makhluk dari segala marabahaya adalah Allah Swt., seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
وَهُوَ يُجِيرُ وَلا يُجارُ عَلَيْهِ
sedang Dia melindungi. tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya. (Al-Mu’minun: 88)
Dia-lah Yang memberi nikmat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ}
Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka dari Allah-lah (datangnya). (An-Nahl: 53),
Dia-lah yang memberi makan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:
{وَهُوَ يُطْعِمُ وَلا يُطْعَمُ}
Dia memberi makan dan tidak diberi makan. (Al-An'am: 14),
Dia-lah yang mengadakan segala sesuatu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
{قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ}
Katakanlah, "Segala sesuatu dari sisi Allah." (An-Nisa: 78)
Ar-Razi sendiri memilih pendapat yang mengatakan bahwa lafaz "Allah" adalah isim yang tidak ber-musytaq sama sekali, hal ini merupakan pendapat Imam Khalil dan Imam Sibawaih serta kebanyakan ulama Usul dan ulama Fiqih. Kemudian Ar-Razi mengemukakan dalil yang memperkuat pendapatnya itu dengan berbagai alasan, antara lain ialah "seandainya lafaz 'Allah' mempunyai isytiqaq, niscaya maknanya dimiliki pula oleh selain-Nya yang banyak jumlahnya". Alasan lainnya ialah bahwa semua nama disebut sebagai sifat untuk-Nya. misalnya dikatakan Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Raja, lagi Mahasuci. Hal ini menunjukkan bahwa lafaz "Allah" tidak ber-musytaq. Ar-Razi mengatakan mengenai firman-Nya yang mengatakan:
{الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ اللَّهِ}
Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yaitu Allah. (Ibrahim: 1-2)
Menurut qiraah yang membaca jar lafaz "Allah", hal ini dianggap termasuk ke dalam Bab "Ataf Bayan". Alasan lainnya ialah berdasarkan firman Allah Swt.:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا
Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? (Maryam: 65)
Akan tetapi, berpegang kepada dalil tersebut untuk menunjukkan bahwa lafaz "Allah" merupakan isim jamid yang tak ber-musytaq, masih perlu dipertimbangkan.
Ar-Razi meriwayatkan dari sebagian ulama bahwa nama Allah Swt. berasal dari bahasa Ibrani, bukan bahasa Arab. Kemudian Ar-Razi menilai pendapat ini lemah, dan memang menurutnya pantas dinilai lemah. Ar-Razi pada mulanya meriwayatkan pendapat ini, kemudian ia mengatakan perlu diketahui bahwa semua makhluk itu terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang yang sampai ke tepi pantai lautan makrifat serta orang-orang yang tersesat di dalam kegelapan kebingungan dan sahara kebodohan, seakan-akan mereka dalam keadaan hilang akal dan rohnya. Orang-orang yang sampai kepada makrifat berarti telah sampai ke haribaan cahaya Allah dan kemahaluasan sifat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji. akhirnya mereka tenggelam ke dalam sifat As-shamad lebur ke dalam sifat Fard (esa). Maka terbuktilah bahwa setiap makhluk kebingungan untuk sampai kepada tingkat makrifat kepada-Nya.
Diriwayatkan dari Khalil ibnu Ahmad, dinamakan "Allah" karena semua makhluk mempertuhankan-Nya.
Menurut pendapat lain, lafaz "Allah" musytaq dari makna irtifa' (tinggi) orang-orang Arab mengatakan lahat terhadap sesuatu yang tinggi. Mereka mengatakan lahat —yakni telah meninggi— bila matahari terbit.
Menurut pendapat lainnya lagi, lafaz "Allah" berasal dari kata alihar rajulu. yakni "bila lelaki tersebut beribadah"; dikatakan ta-al-laha bila dia melakukan ibadah. Ibnu Abbas membacakan firman-Nya, "wayazaraka wailahatuka", dengan kata lain bentuk asalnya adalah ilahun, kemudian hamzah-nya dibuang yang merupakan fa kalimah; setelah dimasuki alif lam, maka bertemulah dua huruf lam, yaitu 'ain fi’l dan lam zaidah. Selanjutnya lam pertama di-Idgam-kan kepada lam kedua, hingga keduanya secara lafzi menjadi satu lam yang di-tasydid-kan, kemudian di-tafkhim-kan karena tujuan mengagungkan, hingga jadilah Allah.

Keutamaan basmalah

April 10, 2018 0
Keutamaan basmalah


Keutamaan basmalah

فَصْلٌ فِي فَضْلِها
Imam Abu Muhammad Abdur Rahman ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْمُبَارَكِ الصَّنْعَانِيُّ، حَدَّثَنَا سَلَّامُ بْنُ وَهْبٍ الجَنَديّ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. فَقَالَ: "هُوَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ، وَمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اسْمِ اللَّهِ الْأَكْبَرِ، إِلَّا كَمَا بَيْنَ سَوَادِ الْعَيْنَيْنِ وَبَيَاضِهِمَا  مِنَ الْقُرْبِ"
telah menceritakan kepada kami ayahku, telah rnenceritakan kepada kami Ja'far ibnu Musafir, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Mubarak As-San'ani, telah menceritakan kepada kami Salam ibnu Wahb Al-Jundi. telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Usman bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang basmalah. Beliau menjawab: Basmalah merupakan salah satu dari nama-nama Allah; antara dia dan asma Allahu Akbar jaraknya tiada lain hanyalah seperti antara bagian hitam dari bola mata dan bagian putihnya karena saking dekatnya.
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih, dari Sulaiman ibnu Ahmad, dari Ali ibnul Mubarak, dari Zaid ibnul Mubarak.
وَقَدْ رَوَى الْحَافِظُ ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقَيْنِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى، عَنْ مِسْعَر، عَنْ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَسْلَمَتْهُ أُمُّهُ إِلَى الكتَّاب لِيُعَلِّمَهُ، فَقَالَ الْمُعَلِّمُ: اكتب، قال ما أكتب؟ قال: بسم اللَّهِ، قَالَ لَهُ عِيسَى: وَمَا بِاسْمِ اللَّهِ؟ قَالَ الْمُعَلِّمُ: مَا أَدْرِي. قَالَ لَهُ عِيسَى: الْبَاءُ بَهاءُ اللَّهِ، وَالسِّينُ سَنَاؤُهُ، وَالْمِيمُ مَمْلَكَتُهُ، وَاللَّهُ إِلَهُ الْآلِهَةِ، وَالرَّحْمَنُ رَحْمَنُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَالرَّحِيمُ رَحِيمُ الْآخِرَةِ".

Al-Hafiz ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui dua jalur. dari Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu Yahya, dari Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya Isa ibnu Maryam a.s. diserahkan oleh ibunya kepada guru tulis untuk diajar menulis. Kemudian si guru berkata kepadanya, Tulislah.' Isa a.s. bertanya, 'Apa yang harus aku tulis?' Si guru menjawab, 'Bismillah." Isa bertanya kepadanya, 'Apakah arti bismillah itu?' Si guru menjawab, 'Aku tidak tahu.' Isa menjawab, 'Huruf ba artinya cahaya Allah, huruf sin artinya sinar-Nya. huruf mim artinya kerajaan-Nya, dan Allah adalah Tuhan semua yang dianggap tuhan. Ar-Rahman artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Penyayang di akhirat'."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Ibrahim ibnul Ala yang dijuluki dengan sebutan Ibnu Zabriq, dari Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu Yahya, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari seseorang yang menceritakannya, dari Ibnu Mas'ud dan Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda. Kemudian ia menuturkan hadis ini, tetapi predikatnya garib (aneh) sekali. Barangkali berpredikat sahih sampai kepada orang selain Rasulullah Saw., dan barangkali hadis ini termasuk salah satu dari hadis israiliyat, bukan dari hadis yang marfu’. Juwaibir meriwayatkannya pula sebelum dia, dari Dahhak.
وَقَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه، مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، وَفِي رِوَايَةٍ عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَةٌ لَمْ تَنْزِلْ عَلَى نَبِيٍّ غَيْرِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ وَغَيْرِي، وَهِيَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ"
Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Yazid ibnu Khalid, dari Sulaiman ibnu Buraidah; sedangkan menurut riwayat lain dari Abdul Karim Abu Umayyah, dari Abu Buraidah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Telah diturunkan kepadaku suatu ayat yang belum pernah diturunkan kepada seorang nabipun selain Sulaiman ibnu Daud dan aku sendiri, yaitu bismillahir rahmanir rahim(Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula berikut sanadnya melalui Abdul Karim Al-Kabir ibnul Mu'afa ibnu Imran, dari ayahnya, dari Umar ibnu Zar, dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa ketika diturunkan kalimat berikut: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang. Maka seluruh awan lari ke arah timur, angin hening tak bertiup, sedangkan lautan menggelora, semua binatang mendengar melalui telinga mereka, dan semua setan dirajam dari langit. Pada saat itu Allah Swt. bersumpah dengan menyebut keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa tidak sekali-kali asma-Nya (yang ada dalam basmalah) diucapkan terhadap sesuatu melainkan Dia pasti memberkatinya.
Waki' mengatakan dari Al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa barang siapa yang ingin diselamatkan oleh Allah dari Malaikat Zabaniyah yang jumlahnya sembilan belas (Zabaniyah adalah juru penyiksa neraka), hendaklah ia membaca: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Allah akan menjadikan sebuah surga baginya pada setiap huruf dari basmalah untuk menggantikan setiap Malaikat Zabaniah. Hal ini diketengahkan oleh Ibnu Atiyyah dan Al-Qurtubi, diperkuat dan didukung oleh Ibnu Atiyyah dengan sebuah hadis yang mengatakan,
"فَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا" لِقَوْلِ الرَّجُلِ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
"Sesungguhnya aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebutan (mencatat) perkataan seorang lelaki yang mengucapkan'rabbana walakal hamdu hamdan ka'siran tayyiban mubarakan fihi' (Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji dengan pujian yang sebanyak-banyaknya, baik lagi diberkati),
mengingat jumlah semua hurufnya ada sembilan belas." Dan dalil-dalil lainnya.
Imam Ahmad ibnu Hambal di dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَاصِمٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا تَمِيمَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ رَدِيفِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عَثَرَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: تَعِس الشَّيْطَانُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ. فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ تَعَاظَمَ، وَقَالَ: بِقُوَّتِي صَرَعْتُهُ، وَإِذَا قُلْتَ: بِاسْمِ اللَّهِ، تَصَاغَرَ حَتَّى يَصِيرَ مِثْلَ الذُّبَابِ".
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abu Tamim yang menceritakan hadis dari orang yang pernah membonceng Nabi Saw. Si pembonceng menceritakan: Unta kendaraan Nabi Saw. terperosok, maka aku mengatakan, "Celakalah setan." Maka Nabi Saw. bersabda, "Janganlah kamu katakan, 'Celakalah setan,' karena sesungguhnya jika kamu katakan demikian, maka ia makin membesar, lalu mengatakan, 'Dengan kekuatanku niscaya aku dapat mengalahkannya.' Tetapi jika kamu katakan, 'Dengan nama Allah,' niscaya si setan makin mengecil hingga bentuknya menjadi sebesar lalat."
Demikian menurut riwayat Imam Ahmad.
Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya. telah meriwayatkan melalui hadis Khalid Al-Hazza, dari Abu Tamimah (yaitu Al-Hujaimi), dari Abul Malih ibnu Usamah ibnu Umair, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah membonceng Nabi Saw. Selanjutnya dia menuturkan hadis hingga sampai pada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«لَا تَقُلْ هَكَذَا فَإِنَّهُ يَتَعَاظَمُ حَتَّى يَكُونَ كَالْبَيْتِ، وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَصْغُرُ حَتَّى يَكُونَ كَالذُّبَابَةِ»
Jangan kamu katakan demikian, karena sesungguhnya setan nanti akan makin membesar hingga bentuknya seperti rumah. Tetapi katakanlah.”Bismillah" (dengan nama Allah), karena sesungguh-nya dia akan mengecil hingga bentuknya seperti lalat.
Demikian itu terjadi berkat kalimah bismillah. Karena itu, pada permulaan setiap perbuatan dan ucapan disunatkan terlebih dahulu membaca basmalah.
Membaca   basmalah   disunatkan   pada   permulaan   khotbah, berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:
«كُلُّ أَمْرٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَجْذَمُ »
Setiap perkara yang tidak dimulai dengan bacaan bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka perkara itu kurang sempurna.
Disunatkan membaca basmalah di saat hendak memasuki kamar kecil, berdasarkan sebuah hadis yang menganjurkannya.
Disunatkan pula membaca basmalah pada permulaan wudu, berdasarkan sebuah hadis yang disebutkan di dalam Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Sunan. melalui riwayat Abu Hurairah dan Sa'id ibnu Zaid serta Abu Sa'id secara. marfu’. yaitu:
«لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ»
Tidak ada wudu bagi orang yang tidak menyebut asma Allah (bismillah) dalam wudunya.
Hadis ini berpredikat hasan.
Di antara ulama ada yang mewajibkannya di saat hendak melakukan zikir, dan di antara mereka ada pula yang mewajibkannya secara mutlak. Membaca basmalah disunatkan pula di saat hendak melakukan penyembelihan, menurut mazhab Imam Syafii dan segolongan ulama. Ulama lain mengatakan wajib di kala hendak melakukan zikir, juga wajib secara mutlak menurut pendapat sebagian dari mereka, seperti yang akan dijelaskan pada bagian lain.
Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan hadis mengenai keutamaan basmalah, antara lain dari Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا أَتَيْتَ أَهْلَكَ فَسَمِّ اللَّهَ؛ فَإِنَّهُ إِنْ وُلِدَ لَكَ وَلَدٌ كُتِبَ لَكَ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ وَأَنْفَاسِ ذُرِّيَّتِهِ حَسَنَاتٌ"
Apabila kamu mendatangi istrimu, maka sebutlah asma Allah, karena sesungguhnya apabila ditakdirkan bagimu punya anak, niscaya akan dicatatkan bagimu kebaikan-kebaikan menurut bilangan helaan napasnya dan napas-napas keturunannya.
Akan tetapi, hadis ini tidak ada asalnya, dan aku (penulis: yakni Ibnu Katsir) belum pernah melihatnya dalam suatu kitab pun di antara kitab-kitab yang dapat dipegang, tidak pula pada yang lainnya.
Disunatkan membaca basmalah di saat hendak makan, seperti apa yang disebutkan di dalam hadis sahih Muslim yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada anak tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah:
"قُلْ: بِاسْمِ اللَّهِ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ"
Ucapkanlah bismillah, dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah makanan yang dekat denganmu.
Sebagian ulama mewajibkan membaca basmalah dalam keadaan seperti itu.
Disunatkan pula membaca basmalah di saat hendak melakukan senggama, seperti yang disebutkan dalam hadis Sahihain melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقَتْنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا» .
Seandainya seseorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, lalu ia mengucapkan, "Dengan menyebut asma Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan (anugerahkan) kepada kami, "karena sesungguhnya jika ditakdirkan terlahirkan anak di antara keduanya, niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap anak itu untuk selama-lamanya.
Berawal dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa kedua pendapat di kalangan ahli nahwu dalam masalah lafaz yang dijadikan ta'alluq(kaitan) oleh huruf ba dalam kalimat Bismillah. apakah berupa fi’l atau isim, keduanya sama-sama mendekati kebenaran. Masing-masing pendapat memang ada contohnya di dalam Al-Qur'an.
Pendapat yang mengatakan bahwa ta'alluq-nya berupa isim. hingga bentuk lengkapnya menjadi seperti berikut: "Dengan menyebut asma Allah kumulai", contohnya di dalam Al-Qur'an ialah firman-Nya:
وَقالَ ارْكَبُوا فِيها بِسْمِ اللَّهِ مَجْراها وَمُرْساها إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan Nuh berkata, "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Hud: 41)
Orang yang memperkirakannya dalam bentuk fi’l, baik fi’l amar ataupun khabar (kalimat berita), contohnya ialah: "Aku memulai dengan menyebut asma Allah" atau "Dengan nama Allah aku memulai", seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (Al-'Alaq: 1)
Kedua pendapat tersebut benar, karena suatu fi'il pasti mempunyai masdar. Maka Anda boleh memperkirakan ta'alluq-nya dalam bentuk fi'il atau masdar-nya. Yang demikian itu disesuaikan dengan pekerjaan yang akan dibacakan basmalah untuknya, misalnya duduk, berdiri, makan, minum, membaca, wudu, ataupun salat. Hal yang dianjurkan ialah membaca basmalah di kala hendak melakukan semua hal yang disebutkan untuk memperoleh berkah dan rahmat serta pertolongan dalam menyelesaikannya dan agar diterima oleh Allah Swt.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Bisyr ibnu Imarah, dari Abu Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal yang mula-mula dibawa turun oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. ialah: "Hai Muhammad, katakanlah, 'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk'." Kemudian Malaikat Jibril berkata, "Katakanlah bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)."
Jibril berkata kepadanya, "Hai Muhammad, sebutlah asma Allah, bacalah dengan menyebut asma Allah —Tuhanmu— dan berdiri serta duduklah dengan menyebut asma Allah," menurut lafaz Ibnu Jarir.
Apakah lafaz isim (yang ada pada lafaz Bismi) merupakan musamma (yang diberi nama) atau lainnya? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:
Pertama, isim adalah musamma (yang diberi nama). Pendapat ini dikatakan oleh Abu Ubaidah dan Imam Sibawaih, kemudian dipilih oleh Al-Baqilani dan Ibnu Faurak; dikatakan pula oleh Ar-Razi (yaitu Muhammad ibnu Umar) yang dikenal dengan julukan Ibnu Khatib Ar-Ray di dalam mukadimah kitab Tafsir-nya.
Kedua, menurut golongan Al-Hasywiyyah, Al-Karamiyyah, dan Al-Asy'ariyyah, isim adalah diri yang diberi nama, tetapi bukan namanya.
Ketiga, menurut Mu'tazilah isim bukan menunjukkan yang diberi nama, tetapi merupakan namanya.
Menurut pendapat yang terpilih di kalangan kami, isim bukan menunjukkan yang diberi nama. bukan pula namanya. Kemudian kami simpulkan, jika yang dimaksud dengan istilah "isim" adalah "suara dari huruf-huruf yang tersusun", maka menurut kesimpulannya isim bukanlah musamma, sekalipun menurut makna yang dimaksud dengan isim adalah diri musamma (yang diberi nama). Hal seperti ini termasuk ke dalam Bab "Menjelaskan Hal yang Sudah Jelas Berarti Tidak Ada Gunanya". Maka dapat dibuktikan bahwa melibatkan diri ke dalam pembahasan ini dengan mengadakan semua hipotesis sama saja dengan membuang-buang waktu yang tidak ada guna.
Kemudian dibahas hal yang menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma. Disebutkan bahwa adakalanya isim memang ada, tetapi musamma-nya tidak ada, seperti lafaz ma'dum (yang tidak ada). Adakalanya sesuatu itu mempunyai banyak isim (nama), seperti lafaz mutaradif (sinonim). Adakalanya isim-nya satu. sedangkan mu-samma-nya berbilang, seperti lafaz yang musytarak (satu lafaz yang mempunyai dua makna yang bertentangan). Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma, dan isim merupakan lafaz, sedangkan musamma adalah penampilannya; musamma itu adakalanya merupakan zat yang mungkin atau wajib keberadaan zatnya. Lafaz an-nar (api) dan as-salj (es) seandainya merupakan musamma, niscaya orang yang menyebutnya akan merasakan panasnya api dan dinginnya es. Akan tetapi. tentu saja hal seperti ini tidak akan dikemukakan oleh orang yang berakal waras. Juga karena Allah Swt. telah berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها
Allah mempunyai asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul husna itu. (Al-A'raf: 180)
Nabi Saw. telah bersabda:
«إِنْ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا»
Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan  isim (nama).
Shahih: Bukhari 7392 dan Muslim 2677
Ini adalah nama yang banyak, tetapi musamma-nya adalah esa, yaitu Allah Swt. Allah pun telah berfirman: Allah mempunyai nama-nama. (Al-A'raf: 180) Allah telah meng-idafah-km nama-nama itu kepada dirinya, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ
Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar. (Al-Waqi'ah: 74)
Demikian pula yang lain-lainnya yang semisal; kesimpulannya menyatakan bahwa idafah memberikan pengertian mugayarah (perbedaan antara isim dan musamma). Allah Swt. telah berfirman: maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu. (Al-A'raf: 180)
Hal ini menunjukkan bahwa isim bukanlah zat Allah.
Sedangkan orang yang berpendapat bahwa isim adalah musamma, beralasan dengan firman-Nya:
تَبارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَالْإِكْرامِ
Mahaagung nama Tuhanmu Yang mempunyai Kebesaran dan Karunia. (Ar-Rahman: 78)
Yang Mahaagung adalah Allah Swt, sebagai jawabannya ialah bahwa isim yang diagungkan untuk mengagungkan Zat Yang Mahasuci; demikian pula jika seorang lelaki mengatakan Zainab —yakni istrinya— tertalak, maka Zainab menjadi terceraikan. Seandainya isim bukanlah musamma, niscaya talak tidak akan jatuh kepadanya, dan tentu saja sebagai jawabannya dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah diri yang diberi nama Zainab terkena talak.
Ar-Razi mengatakan bahwa tasmiyah artinya "menjadikan isim ditentukan untuk diri orang yang bersangkutan", maka diri orang tersebut bukanlah isim-nya.

Tafsir basmalah dan hukum hukumnya

April 10, 2018 0
Tafsir basmalah dan hukum hukumnya


Tafsir basmalah dan hukum-hukumnya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (1)
Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang
Para sahabat memulai bacaan Kitabullah dengan basmalah, dan para ulama sepakat bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari surat An-Naml. Kemudian mereka berselisih pendapat apakah basmalah merupakan ayat tersendiri pada permulaan tiap-tiap surat, ataukah hanya ditulis pada tiap-tiap permulaan surat saja. Atau apakah basmalah merupakan sebagian dari satu ayat pada tiap-tiap surat, atau memang demikian dalam surat Al-Fatihah, tidak pada yang lainnya; ataukah basmalah sengaja ditulis untuk memisahkan antara satu surat dengan yang lainnya, sedangkan ia sendiri bukan merupakan suatu ayat. Mengenai masalah ini banyak pendapat yang dikatakan oleh ulama, baik Salaf maupun Khalaf. Pembahasannya secara panjang lebar bukan diterangkan dalam kitab ini.
Di dalam kitab Sunan Abu Daud dengan sanad yang sahih:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}
dari Ibnu Abbas r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. dahulu belum mengetahui pemisah di antara surat-surat sebelum diturunkan kepadanya: Bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Hakim, yaitu Abu Abdullah An-Naisaburi, di dalam kitab Mustadrak-nya. Dia meriwayatkannya secara mursal dari Sa'id ibnu Jubair.
Di dalam kitab Sahih Ibnu Khuzaimah disebutkan dari Ummu Salamah r.a. bahwa Rasulullah Saw. membaca basmalah pada permulaan surat Al-Fatihah dalam salatnya, dan beliau menganggapnya sebagai salah satu ayatnya.
Tetapi hadis yang melalui riwayat Umar ibnu Harun Balkhi, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah ini di dalam sanadnya terkandung kelemahan.
Imam Daruqutni ikut meriwayatkannya melalui Abu Hurairah secara marfu’ . Hal semisal diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas serta selain keduanya
Di antara orang-orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari tiap surat kecuali surat Bara’ah (surat At-Taubah) adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnuz Zubair, dan Abu Hurairah sedangkan dari kalangan tabi'in ialah Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair. dan Makhul Az-Zuhri. Pendapat inilah yang dipegang oleh Abdullah ibnu Mubarak, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal dalam salah satu riwayat yang bersumber darinya, dan Ishaq ibnu Rahawaih serta Abu Ubaid Al-Qasim ibnu Salam.
Imam Malik dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya mengatakan bahwa basmalah bukan merupakan salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, bukan pula bagian dari surat-surat lainnya.
Imam Syafii dalam salah satu pendapat yang dikemukakan oleh sebagian jalur mazhabnya menyatakan bahwa basmalah merupakan salah satu ayat dari Al-Fatihah, tetapi bukan merupakan bagian dari surat lainnya. Diriwayatkan pula dari Imam Syafii bahwa basmalah adalah bagian dari satu ayat yang ada dalam permulaan tiap surat. Akan tetapi, kedua pendapat tersebut garib (aneh).
Daud mengatakan bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri dalam permulaan tiap surat, dan bukan merupakan bagian darinya. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal. diriwayatkan pula oleh Abu Bakar Ar-Razi, dari Abul Hasan Al-Karkhi, yang keduanya merupakan pentolan murid-murid Imam Abu Hanifah.
Demikianlah pendapat-pendapat yang berkaitan dengan kedudukan basmalah sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah atau tidaknya.
Masalah pengerasan bacaan basmalah sesungguhnya merupakan cabang dari masalah di atas. Dengan kata lain, barang siapa berpendapat bahwa basmalah bukan merupakan suatu ayat dari Al-Fatihah, dia tidak mengeraskan bacaannya. Demikian pula halnya bagi orang yang sejak awalnya berpendapat bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri.
Orang yang mengatakan bahwa basmalah merupakan suatu ayat dari permulaan setiap surat, berselisih pendapat mengenai pengerasan bacaannya. Mazhab Syafii mengatakan bahwa bacaan basmalah dikeraskan bersama surat Al-Fatihah, dan dikeraskan pula bersama surat lainnya. Pendapat ini bersumber dari berbagai kalangan ulama dari kalangan para sahabat para tabi'in. dan para imam kaum muslim. baik yang Salaf maupun Khalaf.
Dari kalangan sahabat yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Mu'awiyah. Bacaan keras basmalah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdul Bar dan Imam Baihaqi. dari Umar dan Ali. Apa yang dinukil oleh Al-Khatib dari empat orang khalifah —yaitu Abu Bakar. Umar, Usman. dan Ali— merupakan pendapat yang garib.
Dari kalangan tabi'in yang mengeraskan bacaan basmalah ialah Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Abu Qilabah, Az-Zuhri, Ali ibnul Husain dan anaknya (yaitu Muhammad serta Sa'id ibnul Musayyab), Ata, Tawus, Mujahid, Salim, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Ubaid dan Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, Abu Wail dan Ibnu Sirin, Muhammad ibnul Munkadir, Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas dan anaknya (Muhammad), Nafi' maula Ibnu Umar, Zaid ibnu Aslam, Umar ibnu Abdul Aziz, Al-Azraq ibnu Qais. Habib ibnu Abu Sabit. Abusy Syasa, Makhul, dan Abdullah ibnu Ma'qal ibnu Muqarrin. Sedangkan Imam Baihaqi menambahkan Abdullah ibnu Safwan, dan Muhammad ibnul Hanafiyyah menambahkan Ibnu Abdul Bar dan Amr ibni Dinar.
Hujah yang mereka pegang dalam mengeraskan bacaan basmalah adalah "Karena basmalah merupakan bagian dari surat Al-Fatihah, maka bacaan basmalah dikeraskan pula sebagaimana ayat-ayat surat Al-Fatihah lainnya".
Telah diriwayatkan pula oleh Imam Nasai di dalam kitab Sunan-nya oleh Ibnu Khuzaimah serta Ibnu Hibban dalam kitab Sahih-nya masing-masing, juga oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Abu Hurairah: bahwa ia melakukan salat dan mengeraskan bacaan basmalahnya; setelah selesai dari salatnya itu Abu Hurairah berkata, "Sesungguhnya aku adalah orang yang salatnya paling mirip dengan salat Rasulullah Saw. di antara kalian."
Hadis ini dinilai sahih oleh Imam Daruqutni, Imam Khatib, Imam Baihaqi, dan lain-lainnya.
Abu Daud dan Turmuzi meriwayatkan melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. pernah membuka salatnya dengan bacaan bismilahir rahmanir rahim. Kemudian Turmuzi mengatakan bahwa sanadnya tidak mengandung kelemahan.
Hadis yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. mengeraskan bacaan bismillahir rahmanir rahim. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadis tersebut sahih.
Di dalam Sahih Bukhari disebutkan melalui Anas ibnu Malik bahwa ia pernah ditanya mengenai bacaan yang dilakukan oleh Nabi Saw., maka ia menjawab bahwa bacaan Nabi Saw. panjang, beliau membaca bismillahir rahmanir rahim dengan bacaan panjang pada bismillah dan Ar-Rahman serta Ar-Rahim. (Dengan kata lain, beliau Saw. mengeraskan bacaan basmalahnya).
Di dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan Abu Daud, Sahih Ibnu Khuzaimah dan Mustadrak Imam Hakim, disebutkan melalui Ummu Salamah r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membacanya dengan cara berhati-hati pada setiap ayat, yaitu:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ. الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yang menguasai hari pembalasan ....
Ad-Daruqutni mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih.
Imam Abu Abdullah Asy-Syafii meriwayatkan, begitu pula Imam Hakim dalam kitab Mustadrak-nya melalui Anas, bahwa Mu'awiyah pernah salat di Madinah; ia meninggalkan bacaan basmalah, maka orang-orang yang hadir (bermakmum kepadanya) dari kalangan Muhajirin memprotesnya. Ketika ia melakukan salat untuk yang kedua kalinya. barulah ia membaca basmalah.
Semua hadis dan asar yang kami ketengahkan di atas sudah cukup. dijadikan sebagai dalil yang dapat diterima guna menguatkan pendapat ini tanpa lainnya. Bantahan dan riwayat yang garib serta penelusuran jalur, ulasan, kelemahan-kelemahan serta penilaiannya akan dibahas pada bagian lain.
Segolongan ulama lainnya mengatakan bahwa bacaan basmalah dalam salat tidak boleh dikeraskan. Hal inilah yang terbukti dilakukan oleh empat orang khalifah, Abdullah ibnu Mugaffal. dan beberapa golongan dari ulama Salaf kalangan tabi'in dan ulama Khalaf, kemudian dipegang oleh mazhab Abu Hanifah, Imam Sauri, dan Ahmad ibnu Hambal.
Menurut Imam Malik, basmalah tidak boleh dibaca sama sekali, baik dengan suara keras ataupun perlahan. Mereka mengatakan demikian berdasarkan sebuah hadis di dalam Sahih Muslim melalui Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ، والقراءة بالحمد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Rasulullah Saw. membuka salatnya dengan takbiratul ihram dan membuka bacaannya dengan al-hamdu lillahi rabbil 'alamina (yakni tanpa basmalah).
Di dalam kitab Sahihain yang menjadi dalil mereka disebutkan melalui Anas ibnu Malik yang mengatakan:
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وعثمان فكانوا يفتتحون بالحمد لله رب العالمين.
Aku salat di belakang Nabi Saw., Abu Bakar, Umar, dan Us'man. Mereka membuka (bacaannya) dengan alhamdu lillahi rabbil 'alamina.
Menurut riwayat Imam Muslim, mereka tidak mengucapkan bismil-lahir rahmanir rahim, baik pada permulaan ataupun pada akhir bacaannya. Hal yang sama disebutkan pula dalam kitab-kitab Sunan melalui Abdullah ibnu Mugaffal r.a. Demikianlah dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh para imam dalam masalah ini, semuanya berdekatan, karena pada kesimpulannya mereka sangat sepakat bahwa salat orang yang mengeraskan bacaan basmalah dan yang memelankannya adalah sah.

Fasal Istiadzah

April 10, 2018 0
Fasal Istiadzah



Fasal Istia’dzah

Isti'adzah artinya memohon perlindungan kepada Allah dan bernaung di bawah lindungan-Nya dari kejahatan semua makhluk yang jahat. Pengertian meminta perlindungan ini adakalanya dimaksudkan untuk menolak kejahatan dan adakalanya untuk mencari kebaikan, seperti pengertian yang terkandung di dalam perkataan Al-Mutanabbi (salah seorang penyair), yaitu:
يَا مَنْ أَلُوذُ بِهِ فِيمَا أُؤَمِّلُهُ ... وَمَنْ أَعُوذُ بِهِ مِمَّنْ أُحَاذِرُهُ
لَا يَجْبُرُ النَّاسُ عَظْمًا أَنْتَ كَاسِرُهُ ... وَلَا يَهِيضُونَ عَظْمًا أَنْتَ جابره
Wahai orang yang aku berlindung kepadanya untuk memperoleh apa yang aku cita-citakan, dan wahai orang yang aku berlindung kepadanya untuk menghindar dari semua yang aku takutkan. Semua orang tidak akan dapat mengembalikan keagungan (kebesaran) yang telah engkau hancurkan, dan mereka tidak dapat menggoyahkan kebesaran yang telah engkau bangun.
Makna a'uzu billahi minasy syaitanir rajimadalah "aku berlindung di bawah naungan Allah dari godaan setan yang terkutuk agar setan tidak dapat menimpakan mudarat pada agamaku dan duniaku, atau agar setan tidak dapat menghalang-halangi diriku untuk mengerjakan apa yang.diperintahkan kepadaku, atau agar setan tidak dapat mendorongku untuk mengerjakan hal-hal yang dilarang aku mengerjakannya".
Sesungguhnya tiada seorang pun yang dapat mencegah setan terhadap manusia kecuali hanya Allah. Karena itu, Allah Swt. memerintahkan agar kita bersikap diplomasi terhadap setan manusia dan berbasa-basi terhadapnya dengan mengulurkan kebaikan kepadanya dengan tujuan agar ia kembali kepada wataknya yang asli dan tidak mengganggu lagi. Allah memerintahkan agar kita meminta perlindungan kepada-Nya dari setan yang tidak kelihatan, mengingat setan yang tidak kelihatan itu tidak dapat disuap serta tidak terpengaruh oleh sikap yang baik, bertabiat jahat sejak pembawaan, dan tiada yang dapat mencegahnya terhadap diri kita kecuali hanya Tuhan yang menciptakannya.
Demikian pengertian yang terkandung di dalam ketiga ayat Al-Qur'an. yang sepengetahuanku tidak ada ayat keempat yang semakna dengannya, maka firman Allah swt. dalam surat Al-A'raf:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ
Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf: 199)
Hal ini  berkaitan dengan sikap terhadap musuh yang terdiri atas kalangan manusia. Kemudian Allah Swt. berfirman:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 200)
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِما يَصِفُونَ. وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزاتِ الشَّياطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ
Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik, Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah.”Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku." (Al-Mu’minun: 96-98)
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَداوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَما يُلَقَّاها إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَما يُلَقَّاها إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat: 34-36)
Kata syaitan menurut istilah bahasa berakar dari kata syatana (شَطَنَ) , artinya "apabila jauh". Watak setan memang jauh berbeda dengan watak manusia; dengan kefasikannya, setan jauh dari semua kebaikan.
Menurut pendapat lain ia berakar dari kata syata (شَاطَ), karena ia diciptakan dari api. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna pertama lebih sahih karena diperkuat oleh perkataan orang-orang Arab. Umayyah ibnu Abus Silt dalam syairnya menceritakan anugerah yang dilimpahkan kepada Nabi Sulaimana.s.:
أَيُّمَا شَاطِنٍ عَصَاهُ عَكَاهُ ... ثُمَّ يُلْقَى فِي السِّجْنِ وَالْأَغْلَالِ
Barang siapa (di antara setan) berbuat durhaka terhadapnya, niscaya dia (Nabi Sulaiman) menangkapnya, kemudian memenjarakannya dalam keadaan dibelenggu.
Ternyata Umayyah ibnu Abu Silt mengatakan syatinin, bukan sya'itin; dan berkatalah An-Nabigah Az-Zibyani, yaitu Ziad ibnu Amr ibnu Mu'awiyah ibnu Jabir ibnu Dabab ibnu Yarbu' ibnu Murrah ibnu Sa'd ibnu Zibyan:
نَأَتْ بِسُعَادٍ عَنْكَ نَوًى شَطُونُ ... فَبَانَتْ والفؤادُ بِهَا رَهِينُ
Kini Su'ad berada jauh darimu, nun jauh di sana ia tinggal, dan kini hariku selalu teringat kepadanya.
Nabigah mengatakan bahwa Su'ad kini berada di tempat yang sangat jauh.
Imam Sibawaih mengatakan bahwa orang Arab mengatakan tasyaitana fulanun (تَشَيْطَنَ فُلَانٌ), artinya "si Fulan melakukan perbuatan seperti perbuatan setan". Seandainya kata syaitan ini berasal dari kata syata, niscaya mereka (orang-orang Arab) akan mengatakannya tasyayyata (تشيط). Dengan demikian. dapat disimpulkan bahwa yang benar adalah lafaz syaitan berakar dari kata syatana yang berarti "jauh". Karena itu, mereka menamakan setiap orang —baik dari kalangan manusia, jin, ataupun hewan— yang bersikap membangkang tidak mau taat dengan sebutan "setan".
Allah Swt. berfirman:
وَكَذلِكَ جَعَلْنا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَياطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (Al-An'am: 112)
Di dalam Musnad Imam Ahmad disebutkan dari Abu Zar r.a. yang menceritakan:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَا أَبَا ذَرٍّ، تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ شَيَاطِينِ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ "، فقلت: أو للإنس شَيَاطِينُ؟ قَالَ: " نَعَمْ "
Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Abu Zar, berlindunglah kepada Allah dari godaan setan manusia dan setan jin (yang tidak kelihatan)!" Aku bertanya.”Apakah setan itu ada yang dari kalangan manusia'? 'Beliau menjawab, "Ya."
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abu Zar pula bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ الْأَسْوَدُ» فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا بَالُ الْكَلْبِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْأَحْمَرِ وَالْأَصْفَرِ؟ فَقَالَ: «الْكَلْبُ الْأَسْوَدُ شَيْطَانٌ»
Yang memutuskan salat ialah wanita. keledai, dan anjing hitam." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah bedanya antara anjing hitam, anjing merah, dan anjing kuning?' Nabi Saw. Menjawab: anjing hitam itu adalah setan.
Ibnu Wahb mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Hisyam ibnu Sa'd, dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, bahwa Khalifah Umar pernah mengendarai seekor kuda birzaun. Ternyata kuda itu melangkah dengan langkah-langkah yang sombong, maka Umar memukulinya, tetapi hal itu justru makin menambah kesombongannya. Umar turun darinya dan berkata, "Kalian tidak memberikan kendaraan kepadaku kecuali kendaraan setan, dan tidak sekali-kali aku turun darinya melainkan setelah aku ingkar terhadap diriku sendiri." Sanad asar ini sahih.
Ar-rajim adalah wazan fa'il, tetapi bermakna mafid, artinya "setan itu terkutuk dan jauh dari semua kebaikan", sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya:
{وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ}
Sesungguhnya Kami menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat pelempar setan. (Al-Mulk: 5)
{إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ * وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ * لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلإ الأعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ * دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ * إِلا مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ}
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan (telah memeliharanya) sebenar-benarnya dari setiap setan yang sangat durhaka. Setan-setan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru, untuk mengusir mereka, dan bagi mereka siksaan yang kekal. Akan tetapi, barang siapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan), maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang. (Ash-Shaffat: 6-10)
{وَلَقَدْ جَعَلْنَا فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَزَيَّنَّاهَا لِلنَّاظِرِينَ * وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ * إِلا مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِينٌ}
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya), dan Kami menjaganya dari tiap-tiap setan yang terkutuk, kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat), lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang. (Al-Hijr: 16-18)
Masih banyak lagi ayat-ayat lainnya. Pendapat lain mengatakan bahwa rajim bermakna rajam, karena setan merajam manusia dengan godaan dan rayuannya. Akan tetapi. makna yang pertama lebih terkenal dan lebih sahih.

Masalah

April 10, 2018 0
Masalah


Mas’alah

Sebagian ulama mengatakan bahwa membaca ta'awwuz pada awal mulanya diwajibkan kepada Nabi Saw., tetapi tidak kepada umatnya. Diriwayatkan dari Imam Malik bahwa dia tidak membaca ta'awwuz dalam salat fardunya; tetapi ta'awwuz dibaca bila mengerjakan salat sunat Ramadan pada malam pertama.
Imam Syafii di dalam kitab Al-Imla mengatakan bahwa bacaan ta'awwuz dinyaringkan; tetapi jika dipelankan, tidak mengapa. Di dalam kitab Al-Umm disebutkan boleh memilih, karena Ibnu Umar membacanya dengan pelan, sedangkan Abu Hurairah membacanya dengan suara nyaring. Tetapi bacaan ta'awwuz selain pada rakaat pertama masih diperselisihkan di kalangan mazhab Syafii, apakah disunatkan atau tidak, ada dua pendapat, tetapi yang kuat mengatakan tidak disunatkan.
Apabila orang yang membaca ta'awwuz mengucapkan, "A'uzu billahi minasy syaitanir rajim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)," maka kalimat tersebut dinilai cukup menurut Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah.
Sebagian dari kalangan ulama ada yang menambahkan lafaz As-Sami'ul 'alim (Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), sedangkan yang lainnya bahkan menambahkan seperti berikut: "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui," menurut As-Sauri dan Al-Auza'i.
Diriwayatkan oleh sebagian dari mereka bahwa dia mengucapkan, "Aku memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk," agar sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh ayat dan berdasarkan kepada hadis Dahhak, dari Ibnu Abbas, yang telah disebutkan tadi. Akan tetapi, lebih utama mengikuti hadis-hadis sahih seperti yang telah disebutkan.
Membaca ta'awwuz dalam salat hanya dilakukan untuk membaca Al-Qur'an, menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad. Sedangkan Abu Yusuf mengatakan bahwa ta'awwuz dibaca untuk menghadapi salat itu sendiri. Berdasarkan pengertian ini. berarti makmum membaca ta'awwuz sekalipun imam tidak membacanya. Dalam salat Id (hari raya), ta'awwuz dibaca sesudah takbiratul ihram dan sebelum takbir salat hari raya. Sedangkan menurut jumhur ulama sesudah takbir Id dan sebelum bacaan Al-Fatihah dimulai.
Termasuk faedah membaca ta'awwuz ialah untuk membersihkan apa yang telah dilakukan oleh mulut, seperti perkataan yang tak berguna dan kata-kata yang jorok, untuk mewangikannya sebelum membaca Kalamullah.
Bacaan ta'awwuz dimaksudkan untuk memohon pertolongan kepada Allah dan mengakui kekuasaan-Nya, sedangkan bagi hamba yang bersangkutan merupakan pengakuan atas kelemahan dan ketidakmampuannya dalam menghadapi musuh bebuyutan tetapi tidak kelihatan, tiada seorang pun yang dapat menyangkal dan menolaknya kecuali hanya Allah yang telah menciptakannya. Setan tidak boleh diajak bersikap baik dan tidak boleh berbaik hati kepadanya. Lain halnya dengan musuh dari jenis manusia (kita boleh bersikap seperti itu), sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa ayat Al-Qur'an dalam tiga tempat, dan Allah Swt. telah berfirman:
إِنَّ عِبادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطانٌ وَكَفى بِرَبِّكَ وَكِيلًا
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhanmu sebagai penjaga. (Al-Isra: 65)
Malaikat pernah turun untuk memerangi musuh yang berupa manusia. Barang siapa terbunuh oleh musuh yang kelihatan (yakni manusia), maka ia mati syahid. Barang siapa terbunuh oleh musuh yang tidak kelihatan, maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan terlaknat. Barang siapa yang dikalahkan oleh musuh yang tampak, maka ia adalah orang yang diperbudak. Barang siapa yang dikalahkan oleh musuh yang tidak kelihatan, maka ia adalah orang yang terfitnah atau berdosa. Mengingat setan dapat melihat manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihatnya, maka manusia dianjurkan agar memohon perlin-dungan kepada Tuhan yang melihat setan, sedangkan setan tidak dapat melihat-Nya.

Taawwudz

April 10, 2018 0
Taawwudz


Ta'awwudz


Segolongan ulama ahli qurra dan lain-lainnya mengatakan bahwa bacaan ta'awwuz dilakukan sesudah membaca Al-Qur'an. Mereka mengatakan demikian berdasarkan makna lahiriah ayat, untuk menolak rasa 'ujub sesudah melakukan ibadah. Orang yang berpendapat demikian antara lain ialah Hamzah, berdasarkan apa yang telah ia nukil dari Ibnu Falufa dan Abu Hatim As-Sijistani. Hal ini diriwayatkan oleh Abul Qasim Yusuf ibnu Ali ibnu Junadah Al-Huzali Al-Magribi di dalam Kitabul 'Ibadah Al-Kamil. Ia meriwayatkan pula melalui Abu Hurairah, tetapi riwayat ini berpredikat garib, lalu dinukil oleh Muhammad ibnu Umar Ar-Razi di dalam kitab Tafsir-nya dari Ibnu Sirin; dalam suatu riwayatnya ia mengatakan bahwa pendapat ini adalah perkataan Ibrahim An-Nakha'i dan Daud ibnu Ali Al-Asbahani Az-Zahiri.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari Abu Bakar ibnu Arabi, dari sejumlah ulama, dari Imam Malik, bahwa si pembaca mengucapkan ta’awwuz sesudah surat Al-Fatihah. Akan tetapi, Ibnul Arabi sendiri menilainya garib (aneh).
Menurut pendapat ketiga, ta'awwut dibaca pada permulaan bacaan Al-Qur'an dan pungkasannya. karena menggabungkan kedua dalil. Demikianlah yang dinukil oleh Ar-Razi.
Akan tetapi, menurut pendapat yang terkenal dan dijadikan pegangan oleh jumhur ulama, bacaan ta'awwuz hanya dilakukan sebelum bacaan Al-Qur'an, untuk menolak godaan yang mengganggu bacaan. Menurut mereka, makna ayat berikut:
فَإِذا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca Al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. (An-Nahl: 98)
ialah "apabila kamu hendak membaca Al-Qur'an". Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman Allah Swt. lainnya, yaitu:
إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
Apabila kalian hendak mengerjakan salat, maka basuhlah muka dan tangan kalian. (Al-Maidah: 6)
Makna yang dimaksud ialah "bilamana kamu hendak mengerjakan salat". Pengertian ini berdasarkan hadis yang menerangkan tentangnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللَّهُ:حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ آتَشَ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَلِيٍّ الرِّفَاعِيِّ الْيَشْكُرِيِّ، عَنْ أَبِي الْمُتَوَكِّلِ النَّاجِي، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم إذا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَاسْتَفْتَحَ صَلَاتَهُ وكبَّر قَالَ: " سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ ". وَيَقُولُ: " لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ " ثَلَاثًا، ثُمَّ يَقُولُ: " أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزه ونَفْخِه ونَفْثه ".
Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan ibnu Anas, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Ali ibnu Ali Ar-Rifa'i Al-Yasykuri, dari Abul Muttawakil An-Naji. dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw: bila mengerjakan salat di sebagian malam harinya membuka salatnya dengan bertakbir, lalu mengucapkan:Mahasuci Engkau, ya Allah, dengan memuji kepada Engkau, Mahasuci asma-Mu dan Maha Tinggi keagungan-Mu: tiada Tuhan selain Engkau. Kemudian beliau mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah," sebanyak tiga kali, lalu membaca doa berikut: "Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk, yaitu dari kesempitan, ketakaburan, dan embusan rayuannya."
Hadis ini diriwayatkan dalam empat kitab Sunan melalui riwayat Ja'far ibnu Sulaiman, dari Ali ibnu Ali Ar-Rifa'i, Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini paling masyhur dalam babnya. Imam Turmuzi mengartikan istilah al-hamz dengan makna 'cekikan' atau 'kesempitan', an-nafakh dengan 'takabur', danan-nafas dengan makna 'embusan rayuan yang mendorong seseorang mengeluarkan syairnya'.
Hadis ini sama dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui hadis Syu'bah, dari Amr ibnu Murah, dari Asim Al-Gazzi, dari Nafi' ibnu Jabir Al-Mut'im, dari ayahnya yang menceritakan:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ: «اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا ثَلَاثًا، الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا ثَلَاثًا، سُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا ثَلَاثًا، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ»
Aku melihat Rasulullah Saw. bila memulai salatnya mengucapkan, "Allahu akbar kabiran" (Allah Mahabesar dengan kebesaran yang sesungguhnya), "Alhamdu lillahi ka'siran" (segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya), "Subhanallahi bukratan wa asilan" (Mahasuci Allah di pagi dan petang hari) masing-masing tiga kali; lalu, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari setan yang terkutuk, yaitu dari godaannya, sifat takaburnya, dan embusan rayuannya."
Menurut    Umar,    al-hamz    artinya   kesempitan,    nafakh    artinya ketakaburan, dan nafas artinya syairnya yang batil.
الَ ابْنُ مَاجَهْ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْمُنْذِرِ، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضيل، حَدَّثَنَا عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، وهَمْزه وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ ".
قَالَ: هَمْزُهُ: الْمَوْتَةُ، ونَفْثُه: الشِّعْرُ، ونفخه: الكِبْر
Ibnu Majah mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Ata ibnus Sa'ib, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw.: Ya Allah,  sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari setan yang terkutuk, yakni dari godaan, rayuan, dan bisikannya.
Ibnu Majah mengatakan bahwa hamzihiartinya cekikannya, nafkhihi artinya takaburnya, dan nafsihi adalah syairnya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ، عَنْ رَجُلٍ حَدَّثَهُ: أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ كبَّر ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: " لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ " ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ "، ثَلَاثَ مَرَّاتٍ. ثُمَّ قَالَ: " أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Syarik. dari Ya’la ibnu Ata, dari seorang lelaki yang menceritakan kepadanya bahwa dia pernah mendengar Abu Umamah Al-Bahili menceritakan: Apabila Rasulullah Saw. hendak mengerjakan salatnya. terlebih dahulu membaca takbir tiga kali, lalu mengucapkan, "Tidak ada Tuhan selain Allah" sebanyak tiga kali, dan "Mahasuci Allah dan dengan memuji kepada-Nya"sebanyak tiga kali. Setelah itu beliau berdoa, "Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, yaitu dari godaan, rayuan, dan bisikannya."
وَقَالَ الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى أَحْمَدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْمُثَنَّى الْمَوْصِلِيُّ فِي مُسْنَدِهِ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ هِشَامِ بْنِ الْبَرِيدِ عَنْ يَزِيدَ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: تَلَاحَى رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَمزّع أَنْفُ أَحَدِهِمَا غَضَبًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنِّي لِأَعْلَمُ شَيْئًا لَوْ قَالَهُ ذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ".
Al-Hafiz Abu Ya’la Ahmad ibnu Ali ibnul Musanna Al-Mausuli mengatakan di dalam kitab Musnad-nya bahwa telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Umar ibnu Aban Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hisyam ibnul Barid, dari Yazid ibnu Ziad, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Ubay ibnu Ka'b r.a. yang menceritakan: Ada dua orang laki-laki beradu janggut (bertengkar) di hadapan Nabi Saw., lalu salah seorang darinya mencabik-cabik hidung karena marah sekali. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui sesuatu; seandainya dia mengucapkannya, niscaya akan lenyaplah rasa emosinya itu, yaitu, 'Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah, dari Yusuf ibnu Isa Al-Marwazi, dari Al-Fadl ibnu Musa, dari Yazid ibnu Abul Ja'diyyah. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, dari Abu Sa'id, dari Zaidah dan Abu Daud, dari Yusuf ibnu Musa, dari Jarir ibnu Abdul Hamid; juga oleh Imam Turmuzi dan Imam Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah-nya, dari Bandar, dari Ibnu Mahdi, dari As-Sauri.
Imam Nasai sendiri meriwayatkannya melalui hadis Zaidah ibnu Qudamah, ketiga-tiganya dari Abdul ibnu Umair. dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Mu'az ibnu Jabal r.a. yang menceritakan, "Ada dua orang lelaki bertengkar di hadapan Nabi Saw., lalu salah seorang dari mereka tampak memuncak emosinya hingga terbayang olehku seakan-akan salah seorang dari keduanya mencabik-cabik hidungnya karena tiupan amarah, lalu Rasulullah Saw. bersabda:
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ أَحَدُهُمَا غضبا شديدا حتى يخيل إِلَيَّ أَنَّ أَحَدَهُمَا يَتَمَزَّعُ أَنْفُهُ مِنْ شِدَّةِ غَضَبِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنِّي لِأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ ما يجد من الغضب» فقال: مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: يَقُولُ: «اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ» قال: فجعل معاذ يأمره فأبى وَجَعَلَ يَزْدَادُ غَضَبًا
'Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suatu kalimat; seandainya dia mengucapkannya, niscaya akan lenyaplah amarah yang menguasai dirinya'.”Mu'az ibnu Jabal r.a. bertanya, "Apakah kalimat itu, wahai Rasulullah? 'Nabi Saw. menjawab, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari godaan setan yang terkutuk." Perawi mengatakan, "Lalu Mu'az memerintahkan orang yang meluap amarahnya itu untuk membacanya, tetapi dia menolak, akhirnya dia makin bertambah emosi."
Demikianlah lafaz yang diketengahkan oleh Abu Daud. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat mursal; dengan kata lain, Abdur Rahman ibnu Abu Laila belum pernah bersua dengan Mu'az ibnu Jabal karena Mu'az telah meninggal dunia sebelum tahun 20 Hijriah.
Menurut kami, barangkali Abdur Rahman ibnu Abu Laila mendengar hadis ini dari Ubay ibnu Ka'b, sebagaimana keterangan yang lalu, kemudian Ubay menyampaikan hadis ini dari Mu'az ibnu Jabal, karena sesungguhnya kisah ini disaksikan bukan hanya oleh seorang sahabat.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A'masy, dari Addi ibnu Sabit yang menceritakan bahwa Sulaiman ibnu Sard r.a. telah menceritakan:
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ جُلُوسٌ فَأَحَدُهُمَا يَسُبُّ صَاحِبَهُ مُغْضَبًا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِنِّي لِأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ: «أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ» فَقَالُوا لِلرَّجُلِ أَلَا تَسْمَعُ مَا يَقُولُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّي لَسْتُ بِمَجْنُونٍ
Ada dua orang laki-laki bertengkar di hadapan Nabi Saw. Ketika itu kami sedang duduk bersamanya. Salah seorang dari kedua lelaki itu mencaci lawannya seraya marah, sedangkan wajahnya tampak memerah (karena emosi). Maka Nabi Saw. bersabda, "Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suatu kalimat; seandainya dia mau mengucapkannya. niscaya akan lenyaplah 'emosi yang membakarnya itu. Yaitu ucapan, 'Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk'." Maka mereka (para sahabat) berkata kepada lelaki yang emosi itu.”Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw?." Lelaki itu justru menjawab, "Sesungguhnya aku tidak gila."
Imam Bukhari meriwayatkannya bersama Imam Muslim, Abu Daud. dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.
Sehubungan dengan masalah isti'azah ini. banyak lagi hadis yang cukup panjang bila dikemukakan dalam kitab ini. Bagi yang menginginkan keterangan lebih lanjut, dipersilakan merujuk kepada kitab-kitab "Zikir dan Keutamaan Beramal".
Telah diriwayatkan bahwa Malaikat Jibril a.s. —pada waktu pertama kali menurunkan Al-Qur'an kepada Rasulullah Saw.— memerintahkannya agar membaca isti'azah (ta'awwuz). Demikian menurut riwayat Imam Abu Ja'far ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib. telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Imarah, telah menceritakan kepada kami Abu Rauq, dari Dahhak, dari Abdullah ibnu Abbas yang menceritakan bahwa pada waktu pertama kali Malaikat Jibril turun kepada Nabi Muhammad Saw., ia berkata, "Hai Muhammad, mohonlah perlindungan (kepada Allah)!" Nabi Saw. bersabda, "Aku memohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk." Kemudian Malaikat Jibril berkata.”Ucapkanlah bismillahir rahmanir rahim." Selanjutnya Malaikat Jibril berkata lagi, "Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan."
Abdullah ibnu Abbas mengatakan. hal tersebut merupakan surat yang mula-mula diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. melalui lisan Malaikat Jibril.
Asar ini berpredikat garib. sengaja kami ketengahkan untuk dikenal, mengingat di dalam sanadnya terkandung kelemahan dan inqita' (maqtu').
Jumhur ulama mengatakan bahwa membaca ta'awwuz hukumnya sunat, bukan merupakan suatu keharusan yang mengakibatkan dosa bagi orang yang meninggalkannya. Ar-Razi meriwayatkan dari Ata ibnu Abu Rabah yang mengatakan wajib membaca ta'awwuz dalam salat dan di luar salat, yaitu bila hendak membaca Al-Qur'an.
Ibnu Sirin mengatakan, "Apabila seseorang membaca ta'awwuz sekali saja dalam seumur hidupnya, hal ini sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban membaca ta'awwuz"
Ar-Razi mengemukakan hujahnya kepada Ata dengan makna lahiriah ayat yang menyatakan, "Fasta'iz (maka mintalah perlindungan kepada Allah)." Kalimat ini adalah kalimat perintah yang lahiriahnya menunjukkan makna wajib, juga berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh Nabi Saw. secara terus-menerus. Dengan membaca ta'awwuz, maka kejahatan setan dapat ditolak. Suatu hal yang merupakan kesempurnaan bagi hal yang wajib, hukumnya wajib pula. Karena membaca ta'awwuz merupakan hal yang lebih hati-hati, sedangkan sikap hati-hati itu merupakan suatu hal yang dapat melahirkan hukum wajib.

Tafsir isti azah dan hukum hukumnya

April 10, 2018 0
Tafsir isti azah dan hukum hukumnya


Tafsir isti'azah dan hukum-hukumnya

الْكَلَامُ عَلَى تَفْسِيرِ الِاسْتِعَاذَةِ
Allah Swt. berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Al-A'raf: 199-200)
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِما يَصِفُونَ. وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزاتِ الشَّياطِينِ وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ
Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka stfatkan (gambarkan). Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan. Dan aku berlindimg (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku." (Al-Mu’minun: 96-97)
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَداوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَما يُلَقَّاها إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَما يُلَقَّاها إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Fushshilat: 34-36)
Setelah ketiga ayat di atas, tidak ada ayat keempat yang semakna dengannya, yaitu Allah Swt. memerintahkan agar bersikap diplomasi terhadap musuh dari kalangan sesama manusia dan berbuat baik kepadanya dengan tujuan agar ia sadar dan kembali kepada watak aslinya yang baik, yakni kembali bersahabat dan rukun. Allah memerintahkan kita untuk memohon perlindungan kepada-Nya dalam menghadapi musuh dari kalangan setan, sebagai suatu keharusan, karena kita tidak boleh bersikap diplomasi dan tidak boleh pula bersikap baik kepadanya. Setan selamanya hanya menginginkan kebinasaan manusia karena sengitnya permusuhan antara dia dan nenek moyang umat manusia, yaitu Adam di masa dahulu, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطانُ كَما أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. (Al-A'raf: 27)
إِنَّ الشَّيْطانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّما يَدْعُوا حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحابِ السَّعِيرِ
Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (Fathir: 6)
أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا
Patutkah kalian mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku, sedangkan mereka adalah musuh kalian? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. (Al-Kahfi: 50)
Sesungguhnya setan (iblis) pernah bersumpah kepada nenek moyang kita semua, yaitu Adam a.s., bahwa dia benar-benar termasuk orang-orang yang menasihatinya. Tetapi ternyata setan berdusta dalam sumpahnya itu. Selanjutnya bagaimanakah perlakuan setan terhadap kita (sebagai anak cucu Adam a.s.)? Hal ini diungkapkan oleh firman-Nya, menyitir perkataan setan:
فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ. إِلَّا عِبادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Demi kekuasaan Engkau. aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka. (Shad: 82-83)
Allah Swt. berfirman:
فَإِذا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمِ. إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. إِنَّما سُلْطانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ
Apabila kamu membaca Al-Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah. (An-Nahl: 98-100)